Namaku Gisella Donatien, namun orang-orang di
sekitarku lebih senang memanggilku Gea. Entah darimana mereka menemukan sebutan
itu. Sebutan yang menurutku tidak tertera dalam tulisan nama di akta
kelahiranku. Ibuku adalah orang asli Indonesia yang anggun dan elok . aku
begitu mengaguminya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling baik dimataku.
Ayahku adalah seorang berkebangsaan Perancis. Menurutnya nama “Donatien”
diambil dari bahasanya yang berarti sebuah hadiah atau pemberian. Aku punya seorang adik laki-laki bernama
Dikoreza Vernon. Ya, kata ayahku dia lahir saat musim semi di Perancis kala itu
(re:Vernon).
Aku suka menulis, membaca buku, bertukar
cerita bersama satu-satunya teman hidupku yaitu Mike. Mike adalah anak seorang
rekan kerja ayahku yang sejak kecil memang sudah menjadi teman bermainku.
Bahkan menjadi satu-satunya teman terbaik. Aku memang tidak pernah sedikitpun
merasakan bangku sekolah umum layaknya anak gadis seusiaku. Hingga usiaku yang
ke-19 nantipun aku tak akan pernah bersekolah. Orang tuaku hanya memberikanku
pendidikan home schooling, itupun tak sampai setingkat SMA. Hari-hariku hanyak
kuhabiskan disini. Ya, di depan buku catatanku, kamera polaroidku, pager, dan
sekantong obat-obatan yang sama disetiap tahunnya.
Sejak aku lahir, dokter di seluruh belahan
dunia ini telah memvonisku mengidap penyakit keturunan yang entah tak
kumengerti harus aku yang mendapatinya. Thalassemia, begitu terang dokter dan
hasil uji laboratorium yang pernah kudengar. Darahku tidak normal, protein
tidak lengkap, atau hal memuakkan apalagi dalam diriki yang tak pernah
kumengerti. Setiap 2-3 minggu sekali aku melakukan transfuse darah dan terapi
khelasi untuk membuatku bertahan hidup. Memang tak ada yang salah saat
orang-orang melihatku, karena memang tak ada yang berbeda. Namun siapa yang
mengerti apa yang terjadi di dalam aliran darahku?
Saat ini aku tinggal di Pulau Bali,
Indonesia, bersama semua keluargaku termasuk Mike. Mike adalah motivator saat
aku jatuh, buku diary tempat aku bercerita, dan juga wadah besar kalau aku
menangis kesakitan. Mungkin Tuhan memang
mengirimkan Mike untuk selalu menemaniku hingga hembus terakhirku nanti.
Seminggu lagi, tepat tanggal 3 Oktober
nanti, adalah hari ulang tahunku yang kesembilan belas. Semua orang rebut
mempersiapkan perayaan. Iya, perayaan di Rumah Sakit. Mungkin bukan perayaan
tapi ….entahlah apa. Kondisiku memburuk belakangan ini, sehingga aku harus
dilarikan ke salah satu Rumah Sakit Swasta di pusat kota Denpasar. Sebenarnya
sudah tradisiku menjelang ulang tahun untuk melakukan transfuse, perawatan
intensif, berteman dengan botol-botol infus. Bukan hal yang aneh untukku. Tapi
kali ini berbeda, kondisiku tak seperti tahun-tahun biasanya saat aku dirawat.
Wajahku pucat dan tubuhku lemas.
“Aku percaya kamu kuat, Ge,” tenang Mike
yang kudengar disebelahku dan kurasakan tangannya menggegamku. Aku melukainya
lagi untuk beribu-ribu kali. Dia, Mike, satu-satunya orang yang memiliki
kecocokan darah untuk didonorkan padaku. Bahkan milik Diko pun tak cocok
untukku. Entah karena apa, mungkin hanya dokter dan para medis yang tahu.
Tiga hari kemudian keadaanku mulai
membaik. Mungkin karena darah Mike. Darahnya yang normal dan tidak berpenyakit.
Tak seperti milikku. Dibayarpun, orang-orang tak akan mau memakai darahku. Hari
ini dokter mengijinkanku untuk menghabiskan waktu di luar penjara putihku. Aku
ditemani Diko dan Mike pergi ke pusat kota Denpasar. Kebetulan sekali hari ini
ada sebuah festival keseian tahunan disana. Senang sekali tahun ini aku bisa
melihat tari-tarian Bali lagi di tempat yang sama saat setiap tahun aku datang.
“Ayo ke Junction Mall! Aku punya tiket
premier film aksi terbaru,” ajak Diko. Akhirnya kamipun pergi ke premiere film
itu. Seru! Aku memang pecinta film aksi. Menurutku film itu bisa membangkitkan
semangatku lagi saat aku ingat penyakit mematikan yang sudah belasan tahun
menggerogoti tubuhku.
“Ge! Bangun! Kamu kenapa LAGI??”
Aku mendengar suara Diko dan Mike
menanggil-manggil namaku. Sekarat. Ya, lagi dan lagi. Ayah dan Ibuku
menyalahkan mereka yang memang terlalu lama membawaku keluar Rumah Sakit. Aku
masih lemah dan akan terus seperti ini. Berada diluar ruangan selama leih dari
empat jam saja tanpa “sekarat” sudah bersyukur aku.
Denpasar, Bali, 3 Oktober 2012
“Selamat Ulang Tahun Gisella Donatien”
Cake
black forest kesukaanku sudah
tertata rapi beserta candy ball warna-warni yang dibawakan Ayah dari Belanda.
Aku bersyukur bisa melihat lilin “19” di atas rotiku. Kata orang-orang di dunia
maya, penderita Thalassemia tidak akan bertahan sampai sembilan belas tahun
lamanya. Tapi hari ini aku mencapainya. Mencapai usia yang diragukan para
medis. Aku mendapat banyak hadiah menarik dari Ayah, Ibu, Diko, dokter dan
perawat, juga dari Mike. Dua lembar tiket “Sunset Party” di pantai Kuta sore
ini menjadi hadiah terindah dari Mike.
Tepat pukul 16.30 aku dan Mike pergi ke
Kuta. Akhirnya aku mendapat izin dari dokter untuk pergi dari penjara lagi.
Ramai sekali. Aku jarang sekali berada di tempat seramai ini. Awalnya aku
merasa pusing, namun Mike begitu pengertian. Ternyata dia telah menyiapkan
tempat yang nyaman untukku. Telah tersaji di meja, es kelapa muda, minuman
favoritku yang telah lama tak kurasakan kesegarannya.
Di tempat ini aku melihat sunset bersama
Mike, orang yang selalu ada untukku sejak aku kecil hingga kini. Dia yang
selalu menyediakan darah segar untukku. Sunset paling indah sepanjang hidupku.
Namun ketika sunset itu mulai hilang,
“Gea! Sadar Ge!”
Aku terjatuh dalam pangkuan Mike dengan
secarik kertas di tanganku.
Terima
kasih telah memberikan tahun-tahun terindah sepanjang hidupku. Terima kasih
telah membantuku bertahan hidup. Darahmu yang kini juga mengalir dalam tubuhku,
akan selalu menjadi bagian terindah dalam hidupku. Jika tulisan ini adalah
tulisan terakhirku, aku hanya ingin kamu tahu kalau selama ini aku begitu
menyayangimu lebih dari kata “teman”. Jika usia Sembilan belas memang usia
terakhirku, aku rela karena tahun-tahunku telah diisi dengan tawa dan senyummu.
Jika saat ini adalah sunset terakhirku, aku beruntung. Beruntung bisa bernafas
untuk terakhir kalinya bersamamu di bawah sunset Kuta, Bali, pulauku, tempatku
lahir dan mati
“Selamat tinggal Gea! Aku
juga menyayangimu seperti dirimu menyayangiku” ucap Mike di depan jasad Gisella
Donatien.
menarik deh! aku suka sama gaya bahasa kamu,.. cara kamu bercerita kayak novel-novel yang biasa kubaca.. pengen deh melihat namamu sebagai penulis novel suatu hari nanti :)
ReplyDeleteyou're invited to join my beauty giveaway, win Etude Girl, Face Shop, and Skinfood products! click here :D
Hahaha, amin, doain aja yaa. Aku kalau lagi mood puitis gitu suka nulis, nanti kapan-kapan aku posting lagi.
DeleteThanks udah mau berkunjung :)
keren kak hehehe
ReplyDeleteboleh minta followbaliknya nggak kak? terimakasih^^