Saturday, November 17, 2012

19


Namaku  Gisella Donatien, namun orang-orang di sekitarku lebih senang memanggilku Gea. Entah darimana mereka menemukan sebutan itu. Sebutan yang menurutku tidak tertera dalam tulisan nama di akta kelahiranku. Ibuku adalah orang asli Indonesia yang anggun dan elok . aku begitu mengaguminya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling baik dimataku. Ayahku adalah seorang berkebangsaan Perancis. Menurutnya nama “Donatien” diambil dari bahasanya yang berarti sebuah hadiah atau pemberian.  Aku punya seorang adik laki-laki bernama Dikoreza Vernon. Ya, kata ayahku dia lahir saat musim semi di Perancis kala itu (re:Vernon).
Aku suka menulis, membaca buku, bertukar cerita bersama satu-satunya teman hidupku yaitu Mike. Mike adalah anak seorang rekan kerja ayahku yang sejak kecil memang sudah menjadi teman bermainku. Bahkan menjadi satu-satunya teman terbaik. Aku memang tidak pernah sedikitpun merasakan bangku sekolah umum layaknya anak gadis seusiaku. Hingga usiaku yang ke-19 nantipun aku tak akan pernah bersekolah. Orang tuaku hanya memberikanku pendidikan home schooling, itupun tak sampai setingkat SMA. Hari-hariku hanyak kuhabiskan disini. Ya, di depan buku catatanku, kamera polaroidku, pager, dan sekantong obat-obatan yang sama disetiap tahunnya.­­­
Sejak aku lahir, dokter di seluruh belahan dunia ini telah memvonisku mengidap penyakit keturunan yang entah tak kumengerti harus aku yang mendapatinya. Thalassemia, begitu terang dokter dan hasil uji laboratorium yang pernah kudengar. Darahku tidak normal, protein tidak lengkap, atau hal memuakkan apalagi dalam diriki yang tak pernah kumengerti. Setiap 2-3 minggu sekali aku melakukan transfuse darah dan terapi khelasi untuk membuatku bertahan hidup. Memang tak ada yang salah saat orang-orang melihatku, karena memang tak ada yang berbeda. Namun siapa yang mengerti apa yang terjadi di dalam aliran darahku?
Saat ini aku tinggal di Pulau Bali, Indonesia, bersama semua keluargaku termasuk Mike. Mike adalah motivator saat aku jatuh, buku diary tempat aku bercerita, dan juga wadah besar kalau aku menangis kesakitan.  Mungkin Tuhan memang mengirimkan Mike untuk selalu menemaniku hingga hembus terakhirku nanti.
Seminggu lagi, tepat tanggal 3 Oktober nanti, adalah hari ulang tahunku yang kesembilan belas. Semua orang rebut mempersiapkan perayaan. Iya, perayaan di Rumah Sakit. Mungkin bukan perayaan tapi ….entahlah apa. Kondisiku memburuk belakangan ini, sehingga aku harus dilarikan ke salah satu Rumah Sakit Swasta di pusat kota Denpasar. Sebenarnya sudah tradisiku menjelang ulang tahun untuk melakukan transfuse, perawatan intensif, berteman dengan botol-botol infus. Bukan hal yang aneh untukku. Tapi kali ini berbeda, kondisiku tak seperti tahun-tahun biasanya saat aku dirawat. Wajahku pucat dan tubuhku lemas.
“Aku percaya kamu kuat, Ge,” tenang Mike yang kudengar disebelahku dan kurasakan tangannya menggegamku. Aku melukainya lagi untuk beribu-ribu kali. Dia, Mike, satu-satunya orang yang memiliki kecocokan darah untuk didonorkan padaku. Bahkan milik Diko pun tak cocok untukku. Entah karena apa, mungkin hanya dokter dan para medis yang tahu.
Tiga hari kemudian keadaanku mulai membaik. Mungkin karena darah Mike. Darahnya yang normal dan tidak berpenyakit. Tak seperti milikku. Dibayarpun, orang-orang tak akan mau memakai darahku. Hari ini dokter mengijinkanku untuk menghabiskan waktu di luar penjara putihku. Aku ditemani Diko dan Mike pergi ke pusat kota Denpasar. Kebetulan sekali hari ini ada sebuah festival keseian tahunan disana. Senang sekali tahun ini aku bisa melihat tari-tarian Bali lagi di tempat yang sama saat setiap tahun aku datang.
“Ayo ke Junction Mall! Aku punya tiket premier film aksi terbaru,” ajak Diko. Akhirnya kamipun pergi ke premiere film itu. Seru! Aku memang pecinta film aksi. Menurutku film itu bisa membangkitkan semangatku lagi saat aku ingat penyakit mematikan yang sudah belasan tahun menggerogoti tubuhku.
“Ge! Bangun! Kamu kenapa LAGI??”
Aku mendengar suara Diko dan Mike menanggil-manggil namaku. Sekarat. Ya, lagi dan lagi. Ayah dan Ibuku menyalahkan mereka yang memang terlalu lama membawaku keluar Rumah Sakit. Aku masih lemah dan akan terus seperti ini. Berada diluar ruangan selama leih dari empat jam saja tanpa “sekarat” sudah bersyukur aku.

Denpasar, Bali,  3 Oktober 2012
“Selamat Ulang Tahun Gisella Donatien” 
Cake black forest  kesukaanku sudah tertata rapi beserta candy ball warna-warni yang dibawakan Ayah dari Belanda. Aku bersyukur bisa melihat lilin “19” di atas rotiku. Kata orang-orang di dunia maya, penderita Thalassemia tidak akan bertahan sampai sembilan belas tahun lamanya. Tapi hari ini aku mencapainya. Mencapai usia yang diragukan para medis. Aku mendapat banyak hadiah menarik dari Ayah, Ibu, Diko, dokter dan perawat, juga dari Mike. Dua lembar tiket “Sunset Party” di pantai Kuta sore ini menjadi hadiah terindah dari Mike.
Tepat pukul 16.30 aku dan Mike pergi ke Kuta. Akhirnya aku mendapat izin dari dokter untuk pergi dari penjara lagi. Ramai sekali. Aku jarang sekali berada di tempat seramai ini. Awalnya aku merasa pusing, namun Mike begitu pengertian. Ternyata dia telah menyiapkan tempat yang nyaman untukku. Telah tersaji di meja, es kelapa muda, minuman favoritku yang telah lama tak kurasakan kesegarannya.
Di tempat ini aku melihat sunset bersama Mike, orang yang selalu ada untukku sejak aku kecil hingga kini. Dia yang selalu menyediakan darah segar untukku. Sunset paling indah sepanjang hidupku. Namun ketika sunset itu mulai hilang,
“Gea! Sadar Ge!”
Aku terjatuh dalam pangkuan Mike dengan secarik kertas di tanganku.

Terima kasih telah memberikan tahun-tahun terindah sepanjang hidupku. Terima kasih telah membantuku bertahan hidup. Darahmu yang kini juga mengalir dalam tubuhku, akan selalu menjadi bagian terindah dalam hidupku. Jika tulisan ini adalah tulisan terakhirku, aku hanya ingin kamu tahu kalau selama ini aku begitu menyayangimu lebih dari kata “teman”. Jika usia Sembilan belas memang usia terakhirku, aku rela karena tahun-tahunku telah diisi dengan tawa dan senyummu. Jika saat ini adalah sunset terakhirku, aku beruntung. Beruntung bisa bernafas untuk terakhir kalinya bersamamu di bawah sunset Kuta, Bali, pulauku, tempatku lahir dan mati
“Selamat tinggal Gea! Aku juga menyayangimu seperti dirimu menyayangiku” ucap Mike di depan jasad Gisella Donatien.